PROPAGANDA POLITIK DALAM MEDIA: STUDI KASUS PEMBERITAAN KONFLIK di MEDIA MASSA

PROPAGANDA POLITIK DALAM MEDIA:

STUDI KASUS PEMBERITAAN KONFLIK

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Globalisasi telah menjadi kekuatan besar yang membutuhkan respon tepat, dalam hal ini perluasan informasi ke seluruh dunia, berbagai kelompok dan lapisan masyarakat.[1] Proses ini telah membawa “pasar” menjadi kekuasaan dominan dalam pembentukan nilai dan tatanan sosial yang bertumpu pada prinsip-prinsip komunikasi padat dan canggih. Pasar telah memperluas orientasi masyarakat dan mobilitas batas-batas sosial budaya. Pasar sekaligus mengaburkan batas-batas itu, akibat berubahnya orientasi ruang dalam masyarakat.[2]

Perubahan orientasi ruang ini mengakibatkan semakin cepatnya perkembangan komunikasi antar individu, baik satu wilayah hingga antar negara. Sehingga informasi di satu wilayah bisa disebarluaskan secara cepat melalui media. Proses integrasi masyarakat ke suatu tatanan global akan menciptakan suatu masyarakat yang terikat dalam suatu jaringan komunikasi internasional yang begitu luas dengan batas-batas yang tidak begitu jelas. Marshal Goldsmith (1998)[3] menunjukkan tiga ciri masyarakat global yang terbentuk akibat proses ekspansi pasar, ketiga cirri tersebut meliputi: diversitas, pembentukan nilai jangka panjang dan hilangnya humanitas (perikemanusiaan).

Persoalan humanitas menjadi penting dalam konteks global bukan saja akibat proses teknologisasi yang terjadi secara besar-besaran, tetapi juga akibat kurangnya interaksi tatap muka. Sehingga, dalam hal ini media, melahirkan jarak baru dengan realitas sosial yang sesungguhnya. Informasi yang tersalurkan melalui media telah membentuk ideologi yang paling mendasar, yaitu penegasan dan kebebasan karena keragaman pilihan informasi memberi kemungkinan yang hampir tak terbatas untuk membangun perbedaan-perbedaan.[4] Berbagai institusi terbentuk untuk mensahkan perbedaan-perbedaan ini, seperti media (cetak maupun elektronik) dan pasar yang menyediakan pilihan barang yang tak terbatas dari sudut jenis dan kualitas.

Dengan kemajuan teknologi dunia, maka manusia dapat merekayasa bentuk komunikasi yang lebih cepat serta lebih luas jangkauan wilayahnya sehingga mempermudah upaya mempengaruhi sistem nilai (value system) dan sistem politik (political system) yang berlaku di suatu negara. Dalam sistem politik, komunikasi berfungsi sebagai penghubung antara situasi kehidupan politik yang ada pada suprastuktur politik dengan infrastuktur politik yang dapat dipakai untuk menciptakan kondisi politik yang stabil. [5]

Institusi politik, dari yang paling sederhana sampai yang paling kompleks, tidak dapat bertahan tanpa adanya komunikasi, yang sangat penting bagi representasi simbolis pihak yang berkuasa dan pesaingnya, sebagai latihan bagi kekuasaan. Praktek di era moderen, politik demokratis juga bergantung pada partisipasi warga, yang mana alat komunikasi publik yang bersifat luas sangat diperlukan. Meskipun semua persoalan fundamental ini tidak dapat sepenuhnya dikaitkan sini, kita harus menyadari wilayah yang luas yang diindikasikan dalam terminologi ‘Komunikasi Politik’. Ada juga dimensi historis pada topik ini dan kepentingan tertentu yang dilekatkan pada munculnya terbitan surat kabar.

Surat kabar adalah instrumen utama komunikasi politik, dari abad yang ke delapan belas sampai pertengahan abad ke dua puluh. Selama periode ini, koran menjalani peran sebagai reporter/pelapor berita-berita politik dan cara bekerjanya badan atau organisasi politik; sebuah platform dalam mengekspresikan opini politik; sebuah instrumen bagi organisasi politik dan mobilisasi dan untuk menempa ideologi; sebuah senjata jika ada konflik di dalam partai; sebuah kritik dan Watchdog atau ’anjing penjaga’ bagi tindakan pemerintah; dan sebagai instrumen pemerintah untuk memberi informasi dan pengaruh. Hal ini tetap merupakan fungsi politik yang esensial pada media massa dewasa ini.

Hubungan yang dekat antara politik dan pers lebih banyak dipertimbangkan karena adanya kedudukan khusus yang seakan diberikan kepada pers koran dalam banyak konstitusi dan bagi akses yang menjamin partai politik dan pemerintah dalam kebanyakan sistem penyiaran publik. Perwakilan dari proteksi yang diberikan kepada pers (umumnya memperkenalkan kebebasan untuk menerbitkan koran dengan perkumpulan untuk mewujudkan kebebasan berbicara) yang terdapat Amandemen pertama dalam konstitusi Amerika.

I.2 Permasalahan Penelitian

Indonesia adalah sebuah masyarakat yang terdiri atas masyarakat-masyarakat suku bangsa yang secara bersama-sama mewujudkan diri sebagai satu bangsa (nation), yaitu bangsa Indonesia. Bentuk negara bangsa Indonesia, yang seperti sekarang ini, tidak terjadi begitu saja, tetapi dengan adanya perjuangan para pendahulu kita dalam menyatukan masyarakat Indonesia yang beranekaragam suku, bangsa, dan budaya untuk melebur menjadi satu di bawah bendera Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Munculnya semboyan Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan negara tidak hanya menjadi pajangan dan simbolisasi biasa. Di bawah semboyan tersebut, harus dipahami bahwa Indonesia merupakan negara yang terdiri atas berbagai suku dan bangsa. Perbedaan inilah yang harus diakomodasi dalam sebuah negara sehingga suku-suku dan bangsa-bangsa di dalamnya memiliki rasa kebangsaan dan rasa kepemilikan sebagai satu bangsa dalam satu negara.

Para tokoh besar di awal kemerdekaan telah menanamkan pemikiran-pemikiran yang mencoba mengantisipasi keberagaman di Indonesia sebagai negara yang multikultur. Dalam penjelasannya, Parsudi Suparlan mendefinisikan paham multikulturalisme sebagai ideologi yang menekankan kesederajatan dalam perbedaan-perbedaan. Dengan kata lain, konsep multikultural mengakui adanya perbedaan dalam masing-masing identitas (intra cultural differentiations).

Oleh karena itu, jati diri bangsa atau identitas suku bangsa merupakan identitas yang paling mendasar dan umum berkenaan dengan asal muasal individu. Identitas menjadi sesuatu yang penting ketika dihadapkan kepada sebuah konsep negara yang berbasis multikultur, seperti Indonesia. Kesadaran akan adanya keberagaman budaya disebut sebagai kehidupan multikultural.

Namun dengan datangnya arus golobalisasi yang menghadang disegala bidang, masyarakat kita lupa bahwa kita hidup dalam masyarakat yang berbeda, mulai dari perbedaan fisik, perbedaan kebudayaan hingga perbedaan pemikiran. Perbedaan-perbedaan inilah yang kemudian terus diberitakan oleh media sehingga menimbulkan gesekan-gesekan konflik yang berbau konflik etnis di beberapa wilayah Indonesia. Menyikapi banyaknya pemberitaan di media baik elektronik maupun media cetak, semakin banyak kemungkinan opini yang dibentuk dalam masyarakat global ini. Oleh karena itu, dalam hal ini, media dapat dijadikan sebagai alat propaganda baik oleh pihak penguasa maupun pihak asing demi kepentingannya masing-masing.

Peranan media yang begitu besar pada suatu penggiringan opini publik, menjadikan media memiliki tempat yang strategis dalam sebuah kekuasaan. Media bebas untuk memberitakan pesan yang mungkin merupakan pesan penguasa terhadap lawan-lawan politiknya. Dalam hal ini, media mengkontruksi informasi sehingga informasi tersebut mengguntungkan pihak penguasa. Oleh karena itu media juga ikut ambil bagian dalam men-frame sebuah informasi menjadi sebuah message dalam dunia perpolitikan di Indonesia.

Telah disebutkan di atas, bahwa ternyata media memiliki porsi yang cukup banyak atau peranan yang strategis dalam sebuah negara Demokrasi. Penggunaan media sebagai alat pelanggengan kekuasaan ternyata diperbolehkan, asal tidak menggunakan kekerasan fisik. Dalam hal ini media tidak bersifat netral, padahal dalam kode etik jurnalis, sebagai awak media, salah satu syarat media adalah bersifat netral. Dengan memberikan informasi yang selektif terhadap masyarakat serta memberikan berita yang merupakan sebuah informasi yang objektif sehingga keberadaan media bukannya memperkeruh suasana.

Namun dalam kenyataannya media dijadikan alat propaganda untuk sebuah kepentingan. Menurut Habermas, penekanan atas kepentingan tersebut adalah kepentingan itu sendiri. Artinya, di dunia ini memang tidak bakal pernah ada yang dinamakan kebenaran objektif, yang ada hanya kebenaran intensional. Bahwa apa pun yang dikatakan sebagai “Kebenaran” pasti selalu memuat kepentingan di dalamnya. Tak ada kebenaran yang sepi dari kepentingan, tak ada kebenaran yang bebas nilai.[6]

Oleh karena itu, makalah ini akan coba membahas bagaimana konstruksi dan peranan media dalam dunia perpolitikan nasional, berhubungan dengan framing media terhadap konflik-konflik etnis yang terjadi di Indonesia. Sehingga kita akan memperoleh gambaran bagaimana sebuah media bekerja dalam menyampaikan informasinya dalam sebuah negara demokrasi dan pengimplemetasiannya sehubungan dengan hak-hak asasi manusia dan hak kebebasan berpendapat dalam sebuah ruang publik.

1.3 Kerangka Teori

Noam Chomsky dalam bukunya yang berjudul Manufacturing Consent[7] menyatakan bahwa:

this book centers in what we call a “propaganda model,” an analytical framework that attempts to explain the performance of the U.S. media in terms of the basic institutional structures and relationships within which they operate. It is our view that, among their other functions, the media serve, and propagandize on behalf of, the powerful societal interests that control and finance them. The representatives of these interests have important agendas and principles that they want to advance, and they are well positioned to shape and constrain media policy. This is normally not accomplished by crude intervention, but by the selection of right-thinking personnel and by the editors’ and working journalists’ internalization of priorities and definitions of newsworthiness that conform to the institution’s policy.

Dalam hal ini kedudukan media tidak lagi bersifat netral, ada kebutuhan yang tidak sesuai dengan fungsi media disitu. Kekuatan yang berkuasa, yang mengontrol dan membiayai media untuk dapat terus berjalan. Sehingga agenda utama media adalah menggiring opini publik pada pembentukan kebijakan sesuai dengan kebutuhan sang penguasa media tersebut. Oleh karena iu, media merupakan alat propaganda dari kekuasaan yang bersangkutan. Propaganda pada hakekatnya adalah penyampaian pesan secara sistematis dan intensif oleh penguasa politik kepada masyarakat sehingga tujuan-tujua politik tertentu yang dianut oleh penguasa politik dapat dicapai. Komunikasi politik yang terencana dengan baik dan sistematis akan memberikan keuntungan-keuntungan politis bagi penguasa bersangkutan[8].

Perkembangan teknologi yang begitu pesat bukan hanya membawa perubahan positif tapi juga semakin merajalelanya kepitalisme termasuk kapitalisasi media. Kebutuhan media akan asupan informasi bertemu dengan kebutuhan pendanaan dan kekuasaan sehingga media gampang untuk diatur dan diarahkan sesuai dengan beholder atau pemegang kekuasaan dan uang. Sehingga para awak media mencari berita yang paling update berdasarkan interest  dari penguasa tersebut.

Sama halnya dengan Noam Chomsky, Edward W Said[9] pun melihat bahwa media pada saat ini tidak lagi bersifat netral. Media dibocengi oleh kepentingan-kepentingan penguasan dalam mengarahkan public beropini dan mepengaruhi audience  dalam pengambilan keputusan dan kebijakan yang berlangsung dalam sebuah negara. Hal ini terjadi karena media, yang tidak memiliki batasan-batasan teritori secara jelas, mampu untuk mengakomodasi berita sesuai dengan keinginan penguasa.

Analisis Framing

Analisis framing secara sederhana dapat digambarkan sebagai analisis untuk mengetahui bagaimana realitas (peristiwa, aktor, kelompok atau apa saja) dibingkai dalam media. Pembingkaian tersebut tentu saja melalui proses konstuksi. Di sini realitas sosial dimaknai dan dikonstuksikan dengan makna tertentu. Peristiwa dipahami dengan pembentukan tertentu. Hasilnya pemberitaan di media pada sisi tertentu atau wawancara dengan orang-orang tertentu. Semua elemen tersebut tidak hanya bagian dari teknis jurnalistik, tetapi menandakan bagaimana peristiwa dimaknai dan ditampilkan.

Dalam salah satu bukunya yang sangat berpengaruh, Making News, Tuchman mengawali ilustrasinya yang menarik. Katanya, “berita adalah jendela dunia”[10] melalui berita, kita mengetahui apa yang terjadi di belahan dunia lain. Melalui berita, kita mengetahui apa saja yang dilakukan oleh elit politik, kehidupannya maupun kegiatannya. Tetapi apa yang kita lihat, ketahui dan apa yang kita rasakan mengeai dunia itu tergantung pada jendela yang kita pakai. Apakah jendela yang kita pakai besar atau kecil. Jendela yang besar dapat melihat lebih luas, sementara yang kecil membatasi pandangan kita. Apakah jendela itu berjeruji atau tidak. Apakah jendela itu bisa dibuka lebar ataukah hanya bisa dibuka setengahnya. Apakah lewat jendela itu kita bisa melihat secara bebas ke luar ataukah kita hanya bisa mengintip di balik jerujinya. Yang paling penting, apakah jendela itu terletak dalam rumah yang posisi tinggi ataukah dalam rumahyang terhalang oelh rumah lain. Sehingga, berita merupakan jendela itu sendiri atau yang kita sebut sebagai frame (bingkai).

Menggunakan paradigma Peter D Moss (1999), wacana media massa, termasuk berita surat kabar, merupakan konstruksi kultural yang dihasilkan ideologi, karena sebagai produk media massa, berita surat kabar menggunakan kerangka tertentu untuk memahami realitas sosial. Lewat narasinya, suartkabar menawrkan definisi-definisi tertentu mengenai kehidupan manusia; siapa pahlawam dan siapa penjahat; apa yang baik dana apa yang buruk bagi rakyat; apa yang layak dan apa yang disebut perjuangan (demi membela kebearan dan keadilan) dan pemberontakan atau terorisme; isu apa yang relevan dan tidak; alasan apa yang masuk akal dan tidak; dan solusi apa yang harus diambil dan ditinggalkan.

Konsep Framing mengacu pada perspektif darmaturgi yang dipelopori oleh Erving Goffman. Dramaturgi dalam hal ini adalah sebuah kerangka rangka analisis dari presentasi symbol yang mempunyai efek persuasif. Dramaturgi melihat realitas seperti layaknya sebuah drama, masing-masing aktor menampilkan dan berperan menurut karakter masing-masing. Manusia berprilaku laksana sebuah panggung. Pendekatan dramaturgi mempunyai dua pengaruh: yang pertama, ia melihat realitas dan aktor menampilkan dirinya dengan symbol, dan penampilan masing-masing, media karenanya, dilihat sebagai transaksi, melalui mana aktor menampilkan dirinya lengkap dengan symbol dan citra yang ingin dihadirkannya. Kedua, pendekatan dramaturgi melihat hubungan interaksionis antara khalayak dengan aktor (penampil). Realitas yang terbentuk karenanya, dilihat sebagai hasil transaksi antara keduanya.

Hingga pada akhirnya framing itu menentukan bagaimana realitas itu hadir di hadapan pembaca. Apa yang kita tahu tentang realitas sosial pada dasarnya tergantung pada bagaimana kita melakukan frame atas peristiwa itu yang memberikan pemahaman dan pemaknaan tertentu atas suatu peristiwa.

Teori Sistem : Gabriel Almond

 

Almond berpendapat bahwa komunikasi politik adalah salah satu fungsi yang selalu ada dalam setiap sistem politik sehingga terbuka kemungkinan bagi para ilmuwan politik untuk memperbandingkan berbagai sistem politik dengan latar belakang budaya yang berbeda. Arti penting sumbangan pemikiran Almond terletak pada pandangannya bahwa semua sistem politik yang pernah ada di dunia ini, yang ada sekarang, dan yang akan ada nanti mempunyai persamaan-persamaan yang mendasar, yaitu adanya kesamaan fungsi yang dijalankan oleh semua sistem politik, salah satunya yaitu komunikasi politik.

 

All of the functions performed in the political system –political socialization and recruitment, interest articulation, interest aggregation, rule making, rule application, and rule adjustication- are performed by means of communication.[11]

Dalam hal ini, komunikasi yang dikembangkan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh Agregasi kepentingan. Sebagaimana diketahui, agregasi merupakan salah satu fungsi universal yang dijalankan oleh setiap sistem politik. Fungsi, dalam Almond, bertujuan menghimpun kepentingan-kepentingan yang ada di dalam masyarakat untuk kemudian dijadikan kebijaksanaan oleh berbagai struktur politik. Sehingga dapat di pahami dari sebuah agregasi kepentingan adalah penguasaan terhadap suatu isu tertentu oleh kekuasaan media.

1.4 Metode Penelitian

Dalam makalah ini, penelitian akan dilakukan menggunakan metode penelitian kualitatif. Hal ini dilakukan karena dibutuhkan sebuah konsepsi yang mendalam untuk dapat menjawab pertanyaan permasalahan yang muncul. Menurut Parsudi Suparlan (1994:4)[12], penelitian kualitatif merupakan penelitian yang memusatkan perhatiannya pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan atau pola-pola gejala yang ada dalam kehidupan manusia.

Adapun sasaran kajiannya adalah pola-pola yang berlaku dan merupakan prinsip-prinsip yang secara umum  serta mendasar atas perwujudan dari gejala-gejala yang ada dalam kehidupan manusia. Untuk menperoleh data mengenai pola-pola yang ada, sesuai dengan permasalahan penelitian diperlukan informasi yang selengkap dan sedalam mungkin mengenai gejala-gejala yang ada dalam kehidupan masyarakat yang diteliti. Dalam Penelitian kali ini, akan dilakukan dengan pengumpulan literatur media mengenai konflik-konflik yang terjadi di Indonesia, wawancara terlibat dengan pihak-pihak atau narasumber baik dari masyarakat maupun dari media dan praktisi.

1.5 Sistematika Penulisan

Penulisan ini terdiri atas empat bab. Bab satu merupakan bab pendahuluan yang berisi lima bagian, yaitu latar belakang, permasalahan penelitian, kerangka konsep, metode penelitian, serta sistematika penulisan. Dalam bab ini, berisikan hal-hal mendasar yang digunakan dalam menjabarkan latar belakang serta penggunaan teori yang digunakan pada saat penelitian dan penulisan sehingga landasan ini bisa digunakan dalam bab-bab selanjutnya.

Bab dua dengan judul “Indonesia dalam Konflik”  yang akan terbagi lagi menjadi tiga subbab besar, yaitu “Pemberitaan Konflik di Indonesia dalam media”, “Kekerasan dalam media”, dan “konstruksi media terhadap konflik di Indonesia”. Dalam bab ini pula, mulai dideskripsikan kedudukan media dalam memberitakan konflik-konflik di Indonesia sehingga penjelasan tentang media serta posisinya dalam pemberitaan konflik akan dijelaskan lebih lanjut dalam bab tiga.

Bab tiga dengan judul “Media, Konflik dan Civil Society” terdiri dari dua subbab. Subbab pertama berjudul “Civil Society”dalam kacamata media” subbab kedua berjudul “Media: Alat Propaganda atau Komunikasi  Politik”. Dalam bab ini, jawaban terhadap permasalahan penelitian mulai terlihat karena di bab ini akan dijelaskan lebih detail mengenai posisi dan sudut pandang media dalam melihat konflik yang terjadi di Indonesia.

Bab empat dengan judul “Media dan Konstruksinya”. Bab kelima berisi kumpulan analisis dan kesimpulan secara keseluruhan sehingga dapat menjawab pertanyaan permasalahan yang timbul pada bab satu.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


[1]Mike  Featherstone. Global Culture: Nationalism, Globalization, and Modernity. London: Sage Publications. 1990.

[2] Arjun Appadurai.”Global Etnoscapes: Notes and Queries for Transnational Anthropology”, dalam R.G Fox (ed), recapturing Anthropology: Working in the Present. Santa Fe, NM: School of American Research Press. 1994

[3]  “Global Communication and Communities of Choice” dalam F.Hesselbein et al (ed), Community of the future. San Fransisco Jossy-Bass Publisher

[4] Pierre Bourdieu. Distintion: A Social Critique of the Judgement of Taste.London: Routledge & Kegan Paul.

[5] H Harmoko. “Peranan Pers Dalam Mengembangkan Komunikasi Politik”. Jakarta.

[6] Edward W. Said. Covering Islam.Yogyakarta. Penerbit Jendela.2002

[7] Noam Chomsky and Edward S. Herman Manufacturing Consent: The political economy Of the mass media Pantheon books New york

[8] Maswadi Rauf.”Komunikasi Politik: Masalah Sebuah Bidang Kajian dalam Ilmu Politik”. Dalam Indonesia dan Komunikasi Politik. Jakarta PT Gramedia Pustaka Utama. 1993

[9] Dalam Covering Islam: How The Media and The Expert Determine How We See The Rest of The World. New York: Pantheon Books. 1981

[10] Gaye Tuchman, Making News: A study In the Construction of reality, (New York: The Free Press, 1978)

[11] Gabriel A. Almond “Introduction: A Functional Approach Comparative Politics”  dalam Maswadi Rauf.”Komunikasi Politik: Masalah Sebuah Bidang Kajian dalam Ilmu Politik”. Indonesia dan Komunikasi Politik. Jakarta PT Gramedia Pustaka Utama. 1993

[12] Parsudi Suparlan. 1994. Metode Penelitian Kualitatif. Program Kajian Wilayah Amerika. Universitas Indonesia.